“Islam
telah membinasakan seluruh pilar dan pondasi masyarakat jahiliyah yang
dibangun di atas pemilahan kasta dan kabilah. Setidaknya masyarakat
jahiliyah masa itu terbagi dalam dua kasta: kasta kaum ningrat
(al-asyraf) dan kasta kaum hamba sahaya, kaum ningrat berhak untuk
memiliki segala corak kehormatan dan kekayaan, sedangkan kaum hamba
sahaya, hanya berhak untuk mengabdi kepada kaum ningrat.”
Akidah
Islam telah berhasil mewujudkan perubahan besar di bidang sosial dan
pendidikan. Hal ini dapat kita lihat pada poin-poin berikut ini:
A. Membangkitkan Rasa Toleransi Sosial
Manusia periode pra-Islam dalam perilaku sosialnya dengan orang-orang sekitarnya menggunakan tolok ukur diri dan kepentingan pribadinya. Karena yang terpikir adalah diri dan kepentingan pribadinya, ia tega mengubur anak-anaknya sendiri hidup-hidup karena takut tertimpa kemiskinan dan kelaparan. Akhirnya Allah Swt ikut campur tangan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa suci itu dari kebudayaan buruk tersebut.
Manusia periode pra-Islam dalam perilaku sosialnya dengan orang-orang sekitarnya menggunakan tolok ukur diri dan kepentingan pribadinya. Karena yang terpikir adalah diri dan kepentingan pribadinya, ia tega mengubur anak-anaknya sendiri hidup-hidup karena takut tertimpa kemiskinan dan kelaparan. Akhirnya Allah Swt ikut campur tangan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa suci itu dari kebudayaan buruk tersebut.
Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَقْـتُلُوْا أَوْلاَدَكُمْ خَشْـيَةَ إِمْلاَقٍ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”.[1]
Dan
yang menakjubkan, manusia Jahiliah yang perhatiannya terpusat pada diri
dan kepentingan pribadinya itu, ketika menyicipi ramuan-ramuan Islam
(berkenaan dengan kehidupan dan tata cara hidup), ia rela mengorbankan
jiwa dan harta bendanya untuk kepentingan agama dan masyarakatnya.
Setiap
orang mengetahui pengorbanan orang-orang Anshar untuk Muhajirin, mereka
mengorbankan setiap apa yang dimiliki kepada Muhajirin yang tidak
bersanak-saudara tersebut, baik rumah atau kekayaan-kekayaan mereka yang
lain. Tingkat pengorbanan dan rasa peduli sosial itu tidak terbatas
pada individu saja, akan tetapi rasa peduli sosial itu telah menjadi
budaya masyarakat kala itu, satu hal yang belum pernah disaksikan oleh
sejarah manusia.
Allah
Swt telah mengabadikan budaya masyarakat yang mulia itu di dalam
Al-Quran sebagai budaya ideal sepanjang sejarah. Dia berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ
الْمُهَاجِرِيْنَ الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا
وَيَنْصُرُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ |
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَاْلإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ
يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُوْنَ فِي صُدُوْرِهِمْ
حَاجَةً مِمَّا أُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُوْنَ
“Juga
bagi orang-orang fakir yang berhijrah dari kampung halaman dan harta
benda mereka (karena) mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, serta
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap segala sesuatu yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun
mereka memerlukan (apa yang diberikan itu). Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.[2]
Islam
telah membinasakan seluruh pilar dan pondasi masyarakat jahiliyah yang
dibangun di atas pemilahan kasta dan kabilah dalam dua kasta: kasta kaum
ningrat (al-asyraf) dan kasta kaum hamba sahaya. Kaum ningrat berhak
untuk memiliki segala corak kehormatan dan kekayaan, sedangkan kaum
hamba sahaya, hanya berhak untuk mengabdi kepada kaum ningrat.
Akhirnya
Islam datang menghancurkan budaya pembudakan manusia itu dan
menggantikannya dengan budaya baru yang menyamaratakan semua manusia
dalam memiliki hak hidup dan kemuliaan. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْـثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ
أَتْقَاكُمْ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”.[3]
Maka
dengan konsep persamaam kasta di atas, kasta hamba sahaya memiliki
kemerdekaan penuh dan mendapatkan hak hidup yang layak. Dengan konsep
Islam itu juga, Ammar, Salman dan Bilal telah memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dari kedudukan para pemilik kasta terhormat Quraisy yang
kala itu masih bergelimangan dalam kesesatan Jahiliah, seperti Walid bin
Mughirah, Hisyam bin Hakam, Abu Sufyan dan lain-lainnya.
Bahkan dengan konsep tersebut pula, harta kekayaan tidak hanya tertimbun di gudang-gudang orang-orang kaya.
Allah Swt berfirman:
“Setiap
harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota, maka harta itu adalah hak Allah,
Rasul-Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan. (Hal ini dimaskudkan) supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara kamu yang kaya. Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras siksaan-Nya”.[4]
B. Metode Menumbuhkan Rasa Peduli Sosial
Akidah Islam telah menumbuhkan rasa peduli sosial dalam sanubari setiap individu dengan berbagai metode dan cara, antara lain:
Akidah Islam telah menumbuhkan rasa peduli sosial dalam sanubari setiap individu dengan berbagai metode dan cara, antara lain:
1. Membangkitkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap nasib orang lain (dalam sanubari setiap individu).
Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan dan penekanan Al-Quran dan hadis-hadis ma’shumin as di bawah ini akan pentingnya hal itu.
Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan dan penekanan Al-Quran dan hadis-hadis ma’shumin as di bawah ini akan pentingnya hal itu.
Allah Swt:
“Dan
tahanlah mereka (di tempat perhentian), karena mereka akan ditanya”.[5]
Dan dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman,
jagalah diri dan keluargamu dari (sengatan) api neraka”.[6]
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki tanggung jawab, kamu juga memiliki tanggung jawab”.[7]
Dalam
hadis yang lain beliau juga pernah bersabda: “Ingatlah, kamu semua
adalah pemimpin, dan setiap orang dari kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas nasib orang-orang yang dipimpinnya. Setiap orang
yang memegang urusan sekelompok manusia adalah pemimpin, dan ia akan
dimintai pertanggung jawaban atas nasib rakyat yang dipimpinnya. Seorang
suami adalah pemimpin atas keluarganya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas nasib keluarganya. Seorang istri hendaknya
mengurus rumah suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas nasib mereka”. [8]
Amirul
mukminin as berkata: “Takutlah kepada Allah berkenaan dengan
hamba-hamba dan negeri-Nya ini, karena kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas tanah dan binatang (yang kamu miliki, apalagi
atas hamba-hamba dan negeri-Nya itu”.[9]
Sebagai
perbandingan, kita melihat bahwa aliran-aliran pemikiran sosial hasil
rekayasa otak manusia biasa hanya mementingkan rasa tanggung jawab
setiap individu (terhadap masyarakatnya di dunia ini saja). Dan bertolak
dari cara berpikir semacam ini, para pencetus aliran-aliran pemikiran
tersebut (demi merealisasikan teori tersebut di atas bumi ini), terpaksa
menulis serentetan undang-undang resmi yang diharapkan akan mampu
merealisasikan tujuan mereka itu, seperti pengekangan kebebasan,
penyiksaan, pendendaan dengan uang, pemecatan dari tugas, penaikan
pangkat dan lain sebagainya. Dan ada kalanya respon masyarakat yang
beraneka ragam juga mampu untuk mengontrol setiap individu supaya
melaksanakan tanggung jawabnya sebaik-baiknya, seperti kepercayaan dan
penghargaan masyarakat kepadanya atau penghinaan mereka terhadapnya.
Adapun
agama Islam, ia tidak hanya mementingkan tanggung jawab individu
terhadap masyarakatnya di dunia saja, akan tetapi ia juga berusaha untuk
menumbuhkan rasa tanggung jawab di dalam sanubarinya terhadap
Penciptanya di dunia lain kelak. Dengan ini, ia akan berusaha untuk
menguasai hawa nafsunya dan peduli terhadap orang lain tanpa harus ada
undang-undang resmi dan respon masyarakat atau rasa iba yang memaksanya.
2. Menumbuhkan jiwa berkorban dan lebih mementingkan orang lain.
Al-Quran yang mulia menganjurkan para pengikutnya untuk lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri dan memuji jiwa berkorban yang dimiliki oleh muslimin. Ketika Imam Ali as rela mengorbankan jiwanya demi Rasulullah Saw hidup dengan tidur di atas ranjang beliau (pada peristiwa Lailatul Mabit), Allah Swt memuji jiwa berkorban yang ia miliki tersebut dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ وَاللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan
ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya demi mencari
keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.[10]
Al-Fakhrur
Razi menulis: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib as
ketika ia tidur di atas ranjang Rasulullah Saw di malam keluarnya beliau
menuju goa Tsaur. Diriwayatkan, ketika ia tidur di atas ranjang beliau,
Jibril as berdiri di arah kepalanya dan Mika`il di arah kakinya. Jibril
bersabda: `Alangkah bahagianya engkau, hai Ali bin Abi Thalib. Allah
telah membanggakanmu di hadapan malaikat`. Lalu turunlah ayat itu”.[11]
Sejarah
telah membuktikan kepada kita bahwa Rasulullah Saw adalah suri teladan
utama dalam mementingkan orang lain dan jiwa berkorban. Diriwayatkan,
beliau tidak pernah makan hingga kenyang selama tiga hari berturut-turut
sampai beliau wafat. Jika beliau menghendaki, semua kekayaan berada di
bawah tangan beliau.[12]
Perilaku
dan perangai beliau ini dapat kita lihat dengan jelas pula dalam
tingkah laku dan perangai Ahlul Bayt as. Mereka berjalan di atas jejak
beliau dan merealisasikan sabda-sabda beliau dalam bentuk praktek nyata.
Muhammad
bin Ka’b Al-Quradli berkata: “Aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib
as berkata: “Engkau pernah melihatku mengikat batu di atas perutku
karena lapar, dan sedekah (yang telah aku berikan kepada orang-orang
yang berhak, jika dibandingkan dengan nilai mata uang) sekarang, sama
dengan empat ribu dinar”.[13]
Semua
itu, karena beliau tidak ingin mementingkan diri sendiri. Akan tetapi
sebaliknya, beliau ingin mengutamakan kepentingan orang lain atas
kepentingan pribadi beliau. Abu
Nawwar, seorang penjual pakaian berkata: “Ali bin Abi Thalib as pernah
datang ke kedaiku bersama seorang pembantunya. Ia membeli dua baju
dariku, lalu ia berkata kepada pembantunya: `Pilihlah mana yang kamu
sukai`. Pembantu itu mengambil salah satunya dan ia sendiri mengambil
sisanya lalu memakainya”.[14]
Dan
di antara bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya perombakan sosial
besar yang telah diciptakan oleh akidah Islam dalam tempo yang sangat
singkat adalah realita berikut ini. Di suatu hari seseorang memberi
hadiah seekor kambing kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw.
Ketika menerima hadiah itu ia berkata: “Sesungguhnya saudaraku si Fulan
lebih memerlukan hadian ini daripada saya”. Lantas ia pergi memberikan
hadiah itu kepada saudaranya yang lebih memerlukan itu. Si Fulan itu
mengatakan hal yang sama. Kejadian ini terus berulang sampai tujuh kali
hingga akhirnya hadiah tersebut kembali kepada orang pertama.[15]
Demikianlah
akidah Islam mendidik insan muslim untuk memiliki rasa peduli sosial
setiap individu terhadap orang lain. Satu rasa peduli yang pada langkah
awalnya harus dimulai dari kepedulian seseorang terhadap anggota
keluarganya, tetangga, anggota negara, umat seagamanya dan kemudian umat
manusia secara keseluruhan.
3. Menumbuhkan rasa kebersamaan.
Sehubungan dengan hal di atas, kita memiliki beberapa hadis yang menganjurkan setiap individu untuk hidup bersama dan tidak memisahkan diri dari masyarakat (jama’ah). Hal ini karena telah terbukti secara nyata bahwa hidup bersama akan menyebabkan kokohnya pondasi masyarakat, dan Allah Swt akan menganugerahkan kebaikan dan berkah kepada sebuah masyarakat yang hidup bersama.
Sehubungan dengan hal di atas, kita memiliki beberapa hadis yang menganjurkan setiap individu untuk hidup bersama dan tidak memisahkan diri dari masyarakat (jama’ah). Hal ini karena telah terbukti secara nyata bahwa hidup bersama akan menyebabkan kokohnya pondasi masyarakat, dan Allah Swt akan menganugerahkan kebaikan dan berkah kepada sebuah masyarakat yang hidup bersama.
Rasulullah Saw bersabda:
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَالشَّيْطَانُ مَعَ مَنْ خَالَفَ الْجَمَاعَةَ يَرْكُضُ
“Allah bersama kelompok, sedangkan syaitan bersama orang-orang yang menentang hidup berkelompok”.[16]
Dalam
hadis lain beliau bersabda: “Barang siapa yang keluar dari (hidup
ber)-kelompok satu jengkal, maka ia telah melepaskan dirinya dari tali
Islam”.[17]
Dari
hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam adalah agama sosial yang
selalu berusaha semaksimal mungkin merangsang setiap individu hidup
secara berkelompok. Sangat
disayangkan, pemerintahan-pemerintahan yang zalim dalam rangka
mengokohkan kekuasaan dan singgasana mereka, mereka telah
menyalahgunakan maksud kosa kata “kelompok” (jama’ah) tersebut. Mereka
mencurahkan seluruh amarah mereka kepada setiap orang yang menyuarakan
kebenaran, bersikap menentang kekuasaan dan menjelek-jelekkan cara-cara
mereka yang tidak Islami (dengan tuduhan ia telah keluar dari jama’ah).
Sebagai
contoh, Bani Umayyah telah membunuh setiap orang yang menentang mereka
dengan tuduan ia telah keluar dari jama’ah. Begitu juga Bani Abbas telah
menggunakan metode yang pernah digunakan oleh Bani Umayyah dalam usaha
memberantas orang-orang yang menentang mereka. Bahkan mereka memiliki
tehnik-tehnik pembunuhan dan penyiksaan lebih kejam dari Bani Umayyah.
Setiap
orang yang mau menelaah buku-buku sejarah, ia akan menemukan
tehnik-tehnik penyiksaan dan pembunuhan keji yang pernah dipraktekkan
oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib
as. Hal ini karena mereka menganggap bahwa keturunan Ali bin Abi Thalib
as tersebut telah keluar dari jama’ah.
Rasulullah
Saw telah menjelaskan maksud dari kosa kata jama’ah secara gamblang.
Jama’ah - sebagaimana yang diartikan oleh orang-orang yang berpikiran
dangkal dan diselewengkan oleh para penguasa - tidak memiliki arti
mayoritas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan jama’ah (dalam hadis-hadis
di atas) adalah kelompok ahli kebenaran meskipun secara kuantitas mereka
sedikit.
Sehubungan
dengan hal itu Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memisahkan
diri dari jama’ah muslimin, maka ia telah melepaskan diri dari tali
Islam”. “Wahai Rasulullah, siapakah jama’ah muslimin itu?”, tanya salah
seorang sahabat. Beliau menjawab: “(Jama’ah muslimin adalah) kelompok
ahli kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit”.[18]
Oleh
karena itu, jelaslah bagi kita bahwa akidah Islam menyeru setiap
individu muslim untuk bergabung dengan jama’ah. Akan tetapi, ada
beberapa hadis dalam buku-buku referensi keislaman kita yang menyeru
muslimin untuk ber-’uzlah (mengasingkan diri) dan menjauhkan diri dari
masyarakat.
Pengarang
buku “Jami’us Sa’adaat”, Syaikh An-Naraqi telah menjawab kontradiksi
kedua kelompok hadis tersebut. Ia menulis: “Ulama generasi pertama
memandang ke-mutlaq-kan[19] hadis-hadis yang memuji ‘uzlah dan
menerangkan faedah-faedahnya, (kemudian mereka menganjurkan setiap
individu untuk ber-’uzlah dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun).
Seperti sabda Nabi Saw: “Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang hamba
yang bertakwa dan mengucilkan diri”. Atau sabda Nabi Saw yang lain:
“Manusia yang paling utama adalah seorang mukmin yang berjihad dengan
jiwa dan hartanya di jalan Allah Swt dan orang yang mengasingkan diri di
kaki-kaki gunung”. Dan perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq as: “Zaman
telah rusak dan persaudaraan telah berubah. Menyendiri adalah jalan
untuk menentramkan hati”. Atau ucapan beliau yang lain: “Sedikitkanlah
pengetahuanmu dan jauhilah orang yang kamu kenal”.
Yang
benar, keutamaan hidup bersama atau ber-’uzlah (menyendiri) tergantung
kepada masing-masing pribadi, situasi, zaman, dan tempat. Oleh karena
itu, (demi menghukumi bahwa hidup bersama adalah lebih utama dari
ber-’uzlah atau sebaliknya), hendaknya kita melihat masing-masing
individu dan situasinya. Dimungkinkan untuk sebagian orang ber-’uzlah
lebih utama dan untuk sebagian yang lain meleburkan diri dalam
masyarakat lebih utama. Dan dimungkinkan juga, sebagian orang harus
menjaga kestabilan antara keduanya;yaitu di samping ia harus meleburkan
diri dalam masyarakat, ia juga harus memiliki kesempatan untuk
ber-’uzlah”.[20]
Kita
bisa menyesuaikan antara dua kelompok hadis yang secara lahiriah
kontradiktif itu dengan jawaban lain di samping jawaban yang telah
diajukan oleh Syaikh An-Naraqi. Hadis-hadis yang menganjurkan kita untuk
ber-’uzlah tersebut, dapat kita artikan dengan beberapa arti, antara
lain: pertama, hadis-hadis tersebut menganjurkan kita untuk beribadah
dengan penuh khusyu’, dan ibadah semacam ini menuntut kita untuk
menjauhi masyarakat beberapa waktu demi memusatkan pikiran kita kepada
Allah semata.
Tentu
saja, arti ini tidak dapat diterapkan atas semua jenis ibadah. Sebagai
contoh, ibadah Haji adalah sebuah ibadah yang memiliki corak sosial.
Dalam ibadah Haji manusia berkumpul dari segala penjuru di satu tempat
dan waktu yang terbatas untuk menunaikan manasik yang satu.
Kedua,
hadis-hadis tersebut memerintahkan kita untuk tidak bergaul dengan
orang-orang yang berperangai jelek dan jahat. Sebagai qarinah (alasan
semantis) untuk arti ini adalah wasiat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar
ra:
يَا أَبَا ذَرٍّ، اَلْجَلِيْسُ الصَّالِحُ خَيْرٌ مِنَ الْوَحْدَةِ، وَالْوَحْدَةُ خَيْرٌ مِنْ جَلِيْسِ السُّوْءِ
“Wahai
Abu Dzar, berteman dengan orang yang shalih lebih dari pada menyendiri,
dan menyendiri lebih baik dari pada berteman dengan orang yang
jahat”.[21]
Adapun
bergaul dan berkumpul dengan orang-orang yang baik - sebagaimana yang
telah kami singgung sebelumnya - adalah satu hal yang dianjurkan oleh
Islam. Secara universal dapat kita katakan, Islam menganjurkan kita
untuk bergaul dengan masyarakat dan sabar atas segala gangguan mereka.
Meskipun terdapat kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan kita untuk
menyendiri.
Dalam kaitannya dengan hal itu Rasulullah Saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنَ
الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ
“Seorang
mukmin yang bergaul dengan masyarakatnya dan sabar atas segala gangguan
mereka lebih utama dari seorang mukmin yang mengucilkan diri dari
masyarakatnya dan tidak sabar atas segala gangguan mereka”.[22]
Atas
dasar ini, Islam mengecam ‘uzlah total dari masyarakat, dengan alasan
apapun, baik untuk beribadah atau lainnya. Karena dalam Islam kita tidak
diperkenankan untuk mempraktekkan kerahiban.
Pada
suatu hari Rasulullah Saw tidak melihat salah seorang sahabat (yang
biasanya sering hadir menghadap beliau). Beliau meminta salah seorang
sahabat yang lain untuk memanggilnya. Ketika sampai di hadapan beliau,
ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya ingin pergi ke gunung itu demi
berkhalwat dan beribadah di dalamnya”. Maka Rasulullah Saw menimpali:
“Kesabaran salah seorang dari kamu sesaat terhadap musibah yang
menimpanya di sebagian negeri Islam ini adalah lebih utama dari
beribadah menyendiri selama empat puluh tahun”.[23]
Ringkasnya,
terdapat beberapa situasi dan kondisi yang menuntut setiap individu
untuk bergabung dengan jama’ah dan meleburkan diri di dalamnya, seperti
jihad, shalat berjama’ah di masjid dan belajar di pusat-pusat
pendidikan.
C. Merubah Sistem Hubungan Sosial
Masyarakat Jahiliah memandang hubungan darah dan rahim sebagai dasar hubungan sosial. Oleh karena itu, ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kepentingan suku, mereka lebih mengutamakan kepentingan suku atas kebenaran itu. Al-Quran yang mulia secara tegas mencela fanatisme model Jahiliyah ini.
Masyarakat Jahiliah memandang hubungan darah dan rahim sebagai dasar hubungan sosial. Oleh karena itu, ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kepentingan suku, mereka lebih mengutamakan kepentingan suku atas kebenaran itu. Al-Quran yang mulia secara tegas mencela fanatisme model Jahiliyah ini.
Allah Swt berfirman:
إِذْ
جَعَلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِي قُلُوْبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ
الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِيْنَتَهُ عَلَى رَسُوْلِهِ وَعَلَى
الْمُؤْمِنِيْنَ ...
“Ketika
orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu)
kesombongan Jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya
dan mukminin”.[24]
Akidah
Islam telah berusaha untuk menghilangkan segala jenis fanatisme dari
sanubari manusia dan tidak mengakui keturunan, ras kulit, harta dan
jenis kelamin sebagai tolok ukur keutamaannya dari manusia lain. Sebagai
gantinya, akidah Islam menganjurkan agar hubungan sosial masyarakat
dilandasi oleh asas-asas spiritual, yaitu takwa dan fadlilah. Atas dasar
ini, akidah Islam ingin membasmi segala bentuk dan corak fanatisme.
Karena iman dan fanatisme tidak akan pernah bertemu.
Abu
Abdillah as berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang
memiliki sifat fanatik atau rela orang lain bersikap fanatik
terhadapnya, niscaya ia telah melepaskan diri dari tali iman”.[25]
Beliau juga berkata:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan
termasuk golongan kami orang yang mengajak orang lain untuk bersikap
fanatik, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang dengan
didorong oleh semangat fanatisme dan bukan termasuk golongan kami orang
yang mati dalam keadaan fanatik”.[26]
Amirul
Mukminin as dalam sebuah khotbah beliau yang dikenal dengan nama
“Al-Qashi’ah” menawarkan sebuah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit
fanatisme itu. Beliau berkata: “Sungguh aku telah meneliti, dan aku
tidak menemukan seseorang di dunia ini yang bersikap fanatik terhadap
sesuatu kecuali karena satu alasan yang mungkin disalahpahami oleh
orang-orang bodoh atau hujah yang biasa digunakan oleh orang-orang yang
tolol. Kamu jika bersikap fanatik terhadap sesuatu, (ketahuilah) setiap
fanatik itu tidak memiliki sebab dan landasan (yang tepat); Iblis
membanggakan diri kepada Adam as karena asalnya dan mencelanya karena
penciptaannya. Ia berkata (dengan congkaknya):`Saya terbuat dari api,
sedangkan engkau dari tanah`. Orang-orang kaya yang berlagak hidup mewah
di muka bumi ini merasa bangga karena kenikmatan yang dimilikinya.
Mereka berkata (dengan congkaknya): `Kami lebih banyak mempunyai harta
dan keturunan daripada kamu, dan kami tidak akan pernah disiksa`.
Maka,
jika kamu harus bersikap fanatik dan bangga diri, berbangga dirilah
karena perangai yang mulia dan perbuatan yang terpuji. Berbangga dirilah
karena kalian mampu menunaikan (hak-hak) tetangga, setia terhadap
janji, patuh dalam kebaikan, menentang kesombongan, memiliki keutamaan,
mencegah kezaliman, berhenti mengucurkan darah orang lain, berbuat bijak
terhadap setiap makhluk, menahan amarah dan tidak berbuat kerusakan di
muka bumi ini”.[27]
Ali
bin Husein as ketika beliau ditanya mengenai fanatisme, menjelaskan
arti fanatisme (‘ashabiyah), fanatisme yang terkutuk dan yang terpuji.
Beliau berkata: “Fanatisme yang menyebabkan dosa, jika seseorang
menganggap kaumnya yang jahat lebih utama dari kaum yang shalih. Dan
tidak termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa jika seseorang yang
mencintai bangsanya. Akan tetapi, termasuk fanatisme yang menyebabkan
dosa ketika seseorang membantu kaumnya berbuat kezaliman”.[28]
Demikianlah,
akidah Islam telah menyirnakan awan fanatisme yang hitam dari sanubari
mukminin, dan membentuk identitas baru bagi manusia yang berlandaskan
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, akidah Islam telah
menebarkan cinta dan rahmat (di dunia ini) sebagai ganti dari fanatisme
dan kebencian. Karena fanatisme adalah salah satu faktor berbahaya yang
dapat menyebabkan perpecahan dan kelemahan muslimin, baik secara
spiritual atau material. Dan Islam telah memerangi fanatisme berbahaya
itu dan selalu mengingatkan muslimin akan efek-efek negatifnya.[29]
Di
antara contoh-contoh perombakan sosial paling menonjol yang pernah
dilakukan oleh Islam adalah naiknya pribadi-pribadi kelas bawah pada
periode pra-Islam ke puncak piramida sosial setelah bersinarnya matahari
Islam. Bilal Al-Habasyi menjadi muazzin Rasulullah Saw dan Salman
Al-Farisi ra menjadi salah seorang sahabat yang agung pada era Islam dan
penguasa negeri-negeri yang luas. Dan lebih dari itu, ia menjadi
anggota Ahlul Bayt as.
Seseorang
bertanya kepada Imam Ali as: “Wahai Amirul Mukminin, beritahukanlah
kepadaku tentang Salman Al-Farisi”. Beliau menjawab: “Berbahagialah ia.
Salman adalah salah satu dari kami Ahlul Bayt dan bagaikan Lukman
Al-Hakim bagi kalian ...”.[30]
Zaid
bin Haritsah dan putranya, Usamah - menurut pembagian kasta masyarakat
Jahiliyah - harus menjadi budak yang layak diperjual-belikan. Akan
tetapi, berkat Islam, mereka telah ditunjuk untuk memimpin pasukan
muslimin dalam dua peperangan agung dalam sejarah Islam.
Perubahan
besar dalam alam pemikiran manusia di era risalah Islam yang sangat
pendek ini, tidak mudah terwujud tanpa peran transformasi hebat yang
diperankan oleh akidah Islam.
D. Anjuran untuk saling Membantu dan Mengenal
Akidah Islam telah berhasil mengubah setiap individu masyarakat dari kondisi persaingan dan pertentangan menuju kondisi saling membantu. Al-Quran sebagai sumber pertama akidah menganjurkan manusia untuk hidup bersama dan saling mengenal.
Akidah Islam telah berhasil mengubah setiap individu masyarakat dari kondisi persaingan dan pertentangan menuju kondisi saling membantu. Al-Quran sebagai sumber pertama akidah menganjurkan manusia untuk hidup bersama dan saling mengenal.
Allah Swt berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
wanita, dan Kami menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu seling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”.[31]
Begitu juga Al-Quran menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوِانِ
“Dan
tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.[32]
Pengalaman
manusia telah membuktikan bahwa saling tolong menolong akan mewujudkan
kekuatan dan kemajuan. Masyarakat Jahiliah yang terbelakang dan hidup
dalam kondisi pergolakan yang terus menerus karena faktor fanatisme
suku, pelampiasan hawa nafsu, kepentingan pribadi atau pemonopolian
sebagian mereka terhadap sumber-sumber makanan dan air, berkat Islam
mereka dapat menikmati suasana hidup baru yang dihiasi oleh semangat
tolong menolong dan saling membantu.
Dalam
sejarah Rasulullah Saw sebagai sumber peradaban dan motivator
kebangkitan, kita dapat menemukan banyak bukti tentang kecintaan beliau
untuk menolong orang lain dan beliau menganjurkan kepada setiap anggota
masyarakat untuk melestarikan semangat tolong menolong ini dalam hidup
bermasyarakat. Antara lain:
Dalam
sebuah perjalanan Beliau memerintahkan sahabat untuk menyembelih
kambing. Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya yang akan
menyembelih kambing”. Yang lain menimpali: “Saya yang akan
mengulitinya”. “Saya yang akan memotong-motongnya”, kata orang ketiga
tidak mau kalah. “Saya yang memasaknya”, kata orang keempat tegas.
(Melihat sahabat bersemangat), Rasulullah Saw bersabda: “Aku yang akan
memungut kayu bakar untuk kalian”. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, demi
ayah dan ibu kami, janganlah engkau bersusah payah, kami sudah cukup”.
Rasulullah Saw menjawab: “Aku tahu bahwa kalian sudah cukup dan bisa
mengerjakan semuanya, akan tetapi Allah tidak menyukai seorang hamba
yang berpergian bersama sahabat-sahabatnya dan ia tidak mau sibuk
membantu”. Selesai bersabda demikian, beliau berdiri dan memungut kayu
bakar untuk mereka.[33]
Sebagaimana
Rasulullah Saw tidak menyukai orang yang menyendiri dari masyarakat dan
tidak mau meleburkan diri bersama mereka dalam aktifitas sosial, beliau
juga tidak menyukai seseorang yang menjadi beban masyarakat.
Para
sahabat bercerita kepada Nabi Saw mengenai seorang sahabat. Mereka
berkata: “Ya Rasulullah, ia pergi bersama kami untuk melaksanakan haji.
Jika kami turun (untuk istirahat), ia selalu mengagungkan Allah hingga
kami melanjutkan perjalanan. Dan jika kami mulai bergerak, ia senantiasa
berzikir kepada Allah Swt hingga kami turun (untuk istirahat)”.
Rasulullah Saw bertanya: “Siapakah yang memberi makan hewan
tunggangannya dan memasak makanannya?” “Kami”, jawab mereka serentak.
Rasulullah Saw bersabda: “Kalian lebih utama darinya”.[34]
Ahlul
Bayt as memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip kerja sama dan
rasa solidaritas dalam sanubari manusia dan perilakunya. Sebagai contoh,
Imam Ali bin Husein as, jika malam telah tiba dan para penduduk tidur
pulas, beliau mengumpulkan sisa-sisa belanja keluarganya hari itu dan
memasukkannya ke dalam kantong kulit lalu memanggulnya di atas pundaknya
seraya berkeliling menuju rumah para fakir miskin membagikan-bagikan
makanan tersebut kepada mereka dengan menutupi wajahnya. Dan sering kali
mereka telah menunggu kedatangan beliau di depan pintu rumah mereka.
Ketika mereka melihat beliau datang, mereka senang dan gembira seraya
berkata: “Telah datang pemilik kantong”.[35]
Imam
Al-Kadhim as mencari para fakir miskin Madinah di malam hari. Setelah
itu beliau memanggul keranjang yang berisi uang, rempah-rempah dan
kurma, dan membagi-bagikannya kepada meraka. Mereka tidak tahu dari mana
semua itu. Dan jika beliau mendengar seseorang tertimpa musibah, beliau
mengirimkan sebungkus uang dinar kepadanya.[36]
Para
imam ma’shum as menganjurkan para pengikut mereka - secara khusus -
untuk mewujudkan kerja sama dan semangat tolong menolong yang ideal di
antara mereka. Sa’id bin Al-Hasan berkata: “Abu Ja’far as berkata:
`Apakah pernah salah seorang di antara kalian datang kepada saudaranya,
lalu ia memasukkan tangannya ke dalam kantong uangnya (untuk mengambil
uang dari kantong tersebut) demi menutupi hajatnya dan ia
membiarkannya?` `Saya tidak pernah melihat hal itu terjadi di antara
kami`, jawabku. Beliau berkata: `Jika begitu, mereka masih belum
mencapai kesempurnaan`.[37]
Imam
Ash-Shadiq as adalah suri teladan ideal dalam membantu orang lain.
Al-Fadhl bin Qurrah berkata: “Abu Abdillah as (Imam Shadiq as)
membentangkan rida`-nya yang berisi bungkusan-bungkusan dinar. Lalu
beliau berkata kepada utusan beliau: `Bawalah uang ini ke Fulan dan
Fulan, dan katakan kepada mereka: `Kiriman ini datang dari Iraq`”.
Al-Fadll melanjutkan ceritanya: “Maka utusan tersebut pergi dengan
membawa uang itu kepada mereka dan menyampaikan pesan Imam tersebut.
Mereka berkata kepadanya: `Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan
karena hubunganmu yang dekat dengan kerabat Rasulullah Saw. Adapun
Ja’far, maka Allah yang akan menghukumi antara kami dan dia`. Mendengar
hal itu, beliau jatuh bersujud seraya berkata: `Ya Allah, hinakanlah aku
karena putera-putera ayahku`”.[38]
Imam
Ash-Shadiq as dengan cermat menentukan kriteria-kriteria penghambaan
dan sosial para pengikut beliau. Beliau pernah berkata kepada Jabir:
“Wahai Jabir, apakah cukup seorang penganut Syi’ah mengakatan saya cinta
Ahlul Bayt? Demi Allah, Syi’ah kami adalah orang yang bertakwa kepada
Allah dan menaati-Nya. Wahai Jabir, mereka dikenal rendah hati, khusyu’,
memegang amanat, banyak berzikir kepada Allah, berpuasa, berbakti
kepada orang tua, membantu para fakir miskin, orang yang punya utang dan
anak-anak yatim, jujur dalam berbicara, membaca Al-Quran dan tidak
membicarakan orang lain kecuali kebaikannya ...”.[39]
Muhammad
bin ‘Ajlan berkata: “Ketika aku duduk bersama Abu Abdillah as, masuklah
seorang sahabat seraya mengucapkan salam. Beliau bertanya kepadanya:
`Bagaimana keadaan saudara-saudaramu ketika kamu tinggalkan mereka?` Ia
menjawab dengan memuji mereka. `Apakah orang-orang kaya (di daerahmu)
mengunjungi para fakir miskin?`, tanya beliau lagi. `Sedikit`, jawabnya.
`Apakah orang-orang kaya (di daerahmu) pergi melihat keadaan
orang-orang miskin?`, tanya beliau lagi. `Sedikit`, jawabnya lagi.
Beliau bertanya lagi: `Apakah orang-orang kaya (di daerahmu) menyambung
tali persaudaraan dengan orang-orang fakir?`. Ia menjawab: `Anda
menanyakan kriteria-kriteria yang jarang dilakukan oleh kami`. Akhirnya
beliau berkata: `Bagaimana engkau mengatakan bahwa mereka adalah Syi’ah
kami?`”.[40]
Atas
dasar ini, kita tahu bahwa konsep saling tolong menolong dan rasa
solidaritas menjadi perhatian utama para imam as, karena rasa saling
tolong menolong adalah satu-satunya cara untuk membentuk sebuah
masyarakat yang tentram dan damai jauh dari persengketaan. Sebagai
bukti nyata, masyarakat Arab Jahiliah yang berpecah belah dan tidak
memiliki nama di mata dunia, berkat risalah Islam masyarakat tersebut
bersatu dan berwibawa. Dalam
kaitannya dengan hal di atas, Imam Ali as berkata: “Bangsa Arab
sekarang kendatipun (secara kuantitas) sedikit, namun berkat Islam
(secara kualitas) mereka banyak dan kokoh berkat hidup bersatu?’.[41]
E. Merombak Tradisi-tradisi Jahiliyah
Akidah Islam mempunyai peran besar dalam merombak dan merubah tradisi-tradisi yang dapat merendahkan kemulian manusia dan menimbulkan segala bentuk kesukaran dan kebinasaan. Rasulullah Saw dan Ahlul Bayt as adalah orang pertama yang melakukan perombakan besar-besaran atas tradisi-tradisi itu. Beliau bersabda: “(Untuk menghormati orang lain), janganlah kalian berdiri sebagiamana orang-orang ‘Ajam[42] melakukan hal itu ...”.[43]
Akidah Islam mempunyai peran besar dalam merombak dan merubah tradisi-tradisi yang dapat merendahkan kemulian manusia dan menimbulkan segala bentuk kesukaran dan kebinasaan. Rasulullah Saw dan Ahlul Bayt as adalah orang pertama yang melakukan perombakan besar-besaran atas tradisi-tradisi itu. Beliau bersabda: “(Untuk menghormati orang lain), janganlah kalian berdiri sebagiamana orang-orang ‘Ajam[42] melakukan hal itu ...”.[43]
Nabi
Saw berusaha menyebarkan dan mengokohkan tradisi-tradisi baru yang
mendidik. Abu Abdillah as berkata: “Rasulullah Saw jika memasuki sebuah
rumah, beliau duduk di deretan terakhir”. Rasulullah Saw bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian memasuki sebuah majlis, hendaklah ia duduk di
deretan terakhir”.[44]
Beliau
Saw telah melakukan perombakan tradisi-tradisi kehidupan dalam berbagai
dimensinya; dalam tata cara berdiri, duduk, makan, minum, berpakaian
dan lain-lain.
Imam
Ali as telah melakukan hal serupa. Beliau telah bersusah payah untuk
merombak sisa-sisa tradisi Jahiliyah yang tidak sesuai dengan agama
Islam dan mengajak masyarkat untuk membasmikan segala bentuk pemaksaaan
diri dalam menghormati orang lain yang hasilnya hanya menambah keresahan
masyarakat dan munculnya penghalang antara orang yang alim dan bodoh,
orang yang kaya dan miskin, dan antara hakim dan rakyat jelata.
Sebagai
bukti atas usaha Imam Ali as ini, yaitu ketika beliau dalam perjalanan
menuju Syam, beliau bertemu dengan para pejabat kota Al-Anbar. Ketika
mereka melihat Imam Ali as, mereka turun dari kuda tunggangan mereka dan
membungkukkan badan di hadapan beliau. Melihat perlakuan yang aneh itu
beliau berkata: “Apa yang sedang kalian lakukan?” Mereka menjawab: “Ini
adalah tradisi kami ketika menghormati para pemimpin kami”. Beliau
berkata dengan tandas: “Demi Allah, para pemimpin kalian tidak akan
mendapatkan manfaat dari perlakuan semacam ini. Kalian hanya menyusahkan
diri di dunia ini (dengan perlakuan semacam ini), dan di akheratpun
kalian akan menghadapi kesengsaraan (karena tradisi ini). Alangkah
ruginya sebuah kesulitan yang di baliknya terdapat siksa dan alangkah
beruntungnya sebuah kehidupan (tentram yang tidak diiringi oleh
pemaksaan diri) yang tidak berakibat siksa neraka”.[45]
Beliau
memiliki wasiat-wasiat bernilai yang dapat memberikan andil besar dalam
membina manusia dan menanamkan tradisi-tradisi hasanah dalam
perilakunya. Di
antara wasiat-wasiat beliau itu: “Hai manusia, didiklah jiwa-jiwamu dan
luruskanlah jiwa-jiwa itu dari tradisi-tradisinya yang jelek”.[46]
Semua
itu ditujukan untuk merealisasikan perombakan sosial yang menjadi
cita-cita akidah Islam. Dan jelas bahwa menginginkan sebuah perombakan
sosial tanpa perombakan internal jiwa dan tradisi-tradisi setiap
individu, adalah hal yang mustahil, seperti kita ingin membangun sebuah
bangunan tanpa pondasi.
Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَـيِّر مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَـيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.[47]
Allamah
Sayid Syahid Muhammad Baqir Shadr menulis: “Faktor intern (ad-dafi’
adz-dzati) adalah penyebab utama munculnya problema-problema sosial. Dan
faktor ini adalah sesuatu yang orisinil dalam diri manusia, karena
faktor tersebut timbul dari kecintaannya terhadap dirinya. Di sini,
muncul peran agama untuk memberikan solusi mujarab bagi problem-problema
itu. Dan solusi tersebut harus mempertimbangkan antara faktor-faktor
intern tersebut dan kemaslahatan masyarakat umum”.[48] (alhasanain)
___________________________________
[1] Al-Isra` 17 : 31.
[2] Al-Hasyr 59 : 8-9.
[3] Al-Hujurat 49 : 13.
[4] Al-Hasyr 59 : 7.
[5] Ash-Shaffat 37 : 24.
[6] At-Tahrim 66 : 6.
[7] Kanzul ‘Ummal 5 : 289.
[8] Shahih Muslim 3 : 1459, Kitab al-Imarah, Dar Ihya`it Turats, cet.1.
[9] Nahjul Balaghah, khotbah 167.
[10] Tafsir Majma’ul Bayan 1 : 174, surah Al-Baqarah 2 : 207.
[11] At-Tafsirul Kabir 5 : 223.
[12] Tanbihul Khawathir, Amir Al-Warram 1 : 172, bab al-itsar.
[13] Usudul Ghabah, Ibnu Atsir 4 : 102/3783, Dar Ihya`it Turats.
[14] Ibid 4 : 103.
[15] Asbabun Nuzul, Abul Hasan An-Naisaburi : 281, Intisyarat Ar-Radli.
[16] Kanzul ‘Ummal 1 : 206.
[17] Ibid 1 : 206/1035.
[18] Raudhatul Wa’idhin, Fattal An-Naisaburi : 334, Mansurat Ar-Radli, Qom.
[19] Mutlaq dalam konteks di atas adalah satu istilah dalam ilmu Ushul Fiqih, kebalikan dari Muqayyad. (Pen.)
[20] Jami’us Sa’adaat, An-Naraqi 3 : 195-197, percet. An-Najaf Al-Asyraf 1383 H, cet. 2.
[21] Makarimul Akhlak, Thabarsi : 466, Muassasah Al-A’lami, cet. 6.
[22] Kanzul Ummal 1 : 154/769.
[23] Kanzul Ummal 4 : 454/11354.
[24] Al-Fath 48 : 26.
[25] Ushulul Kafi 2 : 308/2, Bab al-’Ashabiyyah.
[26] Sunan Abu Dawud 2 : 332/4, Bab Fil ‘Ashabiyyah.
[27] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid 13 : 166, Dar Ihya`it Turats Al-Arabi, cet. 2.
[28] Ushulul Kafi 2 : 308/7, Bab Al-’Ashabiyyah, Kitab al-Iman wal Kufr.
[29] Akhlaq Ahlil Bayt as, Sayyid Mahdi Shadr : 70.
[30] Al-Ihtijaj, Thabarsi 1 : 260.
[31] Al-Hujurat 49 : 13.
[32] Al-Ma`idah 5 : 2.
[33] Makarimul Akhlak, Thabarsi : 251-252, Muassasah Al-A’lami, cet. 6.
[34] Biharul Anwar 76 : 274. Riwayat tersebut dinukil dari kitab Al-Mahasin.
[35] Fi Rihab Aimmah Ahlil Bayt as, Sayid Muhsin Al-Amin 2 : 202, Darut Ta’aruf.
[36] Ibid 4 : 84, Dar Sha’b
[37] Ushulul Kafi 2 : 173-174/13, bab Haqqul Mu`min ‘ala Akhihi wa Ada`i Haqqihi.
[38] Tanbihul Khawathir, Amir Warram 2 : 266, Dar Sha’b.
[39] Majmu’ah Warram 2 : 185, Dar Sha’b.
[40] Ushulul Kafi 2 : 173/10, kitab al-Iman wal Kufr.
[41] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 203/Khotbah 146.
[42]
Mungkin yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah tradisi bangsa Persia
dan Romawi ketika menghormati raja-raja mereka. (Pen.)
[43] Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 26.
[44] Ibid.
[45] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 475/Hikmah 37.
[46] Ibid. : 538/Hikmah 359.
[47] Ar-Ra’d 13 : 11.
[48] Iqtishaduna, Sayyid Muhammad Baqir Shadr : 324, cet. 11, Darut Ta’aruf lil Mathbu’aat.
Sumber: Peranan Akidah dalam Membina Manusia
Markaz Risalah
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.